Shalattidak akan sah kecuali jika memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang wajib ada padanya serta menghindari hal-hal yang akan membatalkannya. Adapun syarat-syaratnya ada sembilan: 1. Islam, 2. Berakal, 3. Tamyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk), 4. Menghilangkan hadats, 5. Menghilangkan najis, 6. Menutup aurat, 7.
Kitawajib segera melaksanakan shalat yang tertinggal karena tanpa udzur sebagai tekanan hukum. Mengurutkan dan mendahulukan shalat yang tertinggal dari shalat yang akan dilaksanakan, kecuali jika dikhawatirkan tertinggalnya shalat yang akan dilaksanakan. Dalam kondisi demikian shalat hadhirah wajib didahulukan.
Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas." (HR. Muslim, no. 429) Walaupun demikian, memandang ke langit-langit saat shalat tidaklah membatalkan shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat. Memandang ke langit-langit menandakan tidak khusyuknya orang yang shalat.
Salahsatu dari lima Rukun Islam adalah Shalat. Shalat ialah berhadap hati kepada Allah SWT sebagai ibadah, yang diwajibkan atas tiap-tiap orang Islam (shalat wajib) baik laki-laki maupun perempuan berupa perbuatan/perkataan dan berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam .
RukunShalat ada 13 yaitu : Niat, yaitu menyengaja untuk mengerjakan sholat karena Allah SWT. Niat ini dilakukan oleh hati, dan dapat pula dilafazkan dalam rangka membantu untuk meyakinkan hati. "Bahwasanya segala perbuatan itu harus dgn niat, dan segala perbuatan itu tergantung kpd niatnya." (HR Al-Bukhori) Berdiri bagi yang mampu.
Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka." (HR. Muslim, Nasa'i dan Ahmad). Rasulullah juga melarang seseorang menoleh ke kanan atau ke kiri ketika sholat, beliau bersabda:
kRcNE3n. JAKARTA - Shalat merupakan perintah Allah SWT. Lihat QS Al-Baqarah [2] 55, 110, 177, 277, An-Nisaa [4]103, 162, Al-Maidah [5]12, Al-An’am [6]72, 92, Al-A’raf [7]29, Al-Anfal [8]3, At-Taubah [9]11, 18, 71, Ar-ra’du [13]22, Ibrahim [14]31, 37, 40, Thaha [20]132, Al-Hajj [22] 78, Al-Ahzab [33]33, dan banyak lagi lainnya. Tujuannya adalah mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. QS Al-Ankabut [29] 45. Sehingga terbentuk pribadi yang muttaqin QS Al-Baqarah [2] 2-5, yang khusyuk QS Al-Mu’minun [23] 1-2, tawadlu, dan lain sebagainya. Shalat adalah mi’raj-nya seorang Muslim. Shalat merupakan cara seorang Muslim untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Karena itu, setiap melaksanakan shalat, seorang Muslim diperintahkan untuk senantiasa menyucikan diri, baik lahir maupun batin. Karena shalat merupakan cara Muslim menghadap Allah, maka sudah sepantasnya bila dalam kegiatan shalat terbetik pikiran selain hanya berkonsentrasi menghadap Allah. Pertanyaannya, bolehkah bergerak-gerak dalam shalat, yang tentu saja gerakan itu bukan gerakan shalat? Misalnya, menggaruk kukur-kukur Jawa, merapikan pakaian, memukul nyamuk, dan lain sebagainya. Para ulama sepakat, tidak sah shalat seorang Muslim apabila dalam hatinya terdapat maksud selain Allah. Misalnya memikirkan pekerjaan, makanan, keluarga, dan lainnya. Sedangkan dalam hal bergerak-gerak dalam shalat, para ulama juga menyepakati, bahwa tidak sah shalat seorang Muslim yang bergerak-gerak dalam shalat, apalagi gerakan itu bukan pekerjaan shalat, seperti sujud, rukuk, tahiyyat, i’tidal, dan lainnya. Bila ini dilakukan, maka batallah shalatnya. Termasuk dalam hal ini adalah menolehkan kepala atau pandangannya secara sengaja. Perbuatan itu adalah barang rampasan yang dirampas setan dari shalat seorang hamba. HR Bukhari. Beberapa perbuatan yang dianggap membatalkan shalat itu antara lain, berbicara secara sengaja, tertawa terbahak-bahak, makan dan minum secara sengaja, melakukan terlalu banyak gerakan. Tidak menghadap kiblat secara sengaja, batalnya wudlu, mengingat-ingat shalat yang belum dikerjakan, terbukanya aurat, serta tidak tuma’ninah pada saat rukuk, sujud, maupun duduk tahiyyat. Namun demikian, ada sebagian ulama yang menyatakan makruh bergerak dalam shalat, selama gerakan itu tidak merusak rukun shalat. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai gerakan tersebut, dan berapa jumlah maksimal gerakan lain di luar gerakan shalat. Imam Syafii menyatakan, banyak bergerak dalam shalat maka hukumnya batal. Demikian juga dengan pendapat Imam Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Perbuatan gerak yang membatalkan shalat itu menurut kesepakatan pada ulama mazhab ini, apabila perbuatan gerak tersebut diluar gerakan shalat. Menurut mereka, dalam shalat setiap Muslim diperintahkan agar khusyuk, sebagaimana terdapat dalam surah al-Mu’minun [23] ayat 1-2. Beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalatnya. Syekh Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi dalam kitabnya Tafsir al-Khazin, juz V, halaman 32 menyatakan, khusyuk dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan semua yang diucapkannya, baik berupa bacaan Alquran ataupun zikir. Dan perbuatan menggerak-gerakkan anggota badannya, dianggap merupakan perbuatan di luar gerakan shalat. Dan perbuatan itu dapat merusak ibadah shalat. Imam Nawawi berpendapat, sebagaimana dinukil oleh Sayyid Sabiq didalam kitabnya Fiqhus Sunnah, Perbuatan yang tidak termasuk dalam pekerjaan shalat jika ia menimbulkan banyak gerak itu membatalkan, tetapi jika hanya menimbulkan sedikit gerak, itu tidaklah membatalkan. Seluruh ulama sepakat dalam hal ini, tetapi dalam menentukan ukuran yang banyak atau gerak yang sedikit terdapat empat pendapat. Imam Nawawi menambahkan, Sahabat sepakat bahwa bergerak banyak yang membatalkan itu ialah jika berturut-turut. Jadi, jika gerakannya berselang-seling, tidaklah membatalkan shalat, seperti melangkah kemudian berhenti sebentar, lalu melangkah lagi selangkah atau dua langkah, yakni secara terpisah-pisah. Adapun gerakan ringan seperti menggerakkan jari untuk menghitung tasbih atau disebabkan gatal dan lainnya, hal itu tidaklah membatalkan shalat walaupun dilakukan secara berturut-turut, namun hukumnya makruh. Fiqhus Sunnah. Janganlah mengusap kerikil ketika sedang shalat, tapi jika kalian terpaksa melakukannya, maka cukuplah dengan meratakannya saja. HR Bukari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, nasai, Ibnu Majah, dan Abu Dawud. Namun, para ulama mengembalikan masalah gerakan ini pada kebiasaan yang lazim. Menurut mereka, batal atau tidaknya gerakan—yang bukan gerakan shalat—sebanyak tiga kali di dalam shalat dikembalikan kepada kebiasaan yang lazim. Jika memang kebiasaan masyarakat setempat menganggap bahwa tiga kali gerakan adalah tidak termasuk dalam banyak gerakan, maka diperbolehkan. Dan jika masyarakat menganggap sebaliknya, maka batallah shalatnya. Karena itu, berhati-hatilah dalam melaksanakan shalat, terutama pada perbuatan yang merupakan bukan gerakan shalat, seperti menggaruk, merapikan pakai, mengusap debu, dan lain sebagainya. Umat Islam diperintahkan untuk khuyuk dan meminimalkan gerakan di luar gerakan shalat, demi kehati-hatian. Wallahu A’lam. Tabel Pendapat Ulama Syafii Makruh, maksimal tiga kali gerakan, dan tidak dilakukan secara berurutan. Maliki Makruh menggerakkan anggota badan selain gerakan shalat Hanafi Makruh menggerakkan anggota badan selain gerakan shalat Hanbali Membatalkan shalat
Jakarta – Salah satu ulama Al Azhar Kairo Mesir, Al Muhaddits Syeikh Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi 1380 H / 1960 M, telah menyebutkan alasan kenapa disyariatkan atau dianjurkan kita menengadahkan tangan ke langit saat berdoa. Dalam kitab beliau, Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah halaman 61, beliau mengatakan,”Jika ada yang mengatakan,’ kalau Allah Ta’ala terbebas dari arah, lantas kenapa menengadahkan tangan ke langit saat berdoa ?” Beliau menjawab pertanyaan itu dengan menukil jawaban Al-Imam Al-Alim Al-Allamah Az-Zahid Al-Wara’ Abu Bakar bin Al-Walid At-Thurthusi Al-Andalusi Al-Iskandari Al-Maliki Al-Asy’ari atau Imam Ath-Thurthusi rahimahullah 1059 – 1126 M / 451 – 520 AH, ulama Malikiyah dari Iskandariyah, yang termaktub dalam kitab Ithaf As Sadah Al Muttaqin, syarah Ihya Ulum Ad Din 5/34 – 35. Dalam jawaban itu, Imam Ath-Thurthusi rahimahullah memberikan dua jawaban Pertama, hal itu berkenaan dengan masalah ubudiyah, seperti menghadap kiblat saat melaksanakan shalat, dan meletakkan kening ke bumi saat sujud, yang juga mensucikan Allah dari tempat, baik itu Ka’bah maupun tempat sujud. Sehingga, seakan akan langit merupakan kiblat saat berdoa. Kedua, karena langit adalah tempat turunnya rizki, rahmat dan keberkahan, sebagaimana hujan turun dari langit ke bumi. Demikian pula, langit merupakan tempat para malaikat, dimana Allah memutuskan maka perintah itu tertuju kepada mereka, hingga mereka menurunkannya ke penduduk bumi. Ringkasnya, langit adalah tempat pelaksanaan keputusan, maka doa ditujukan ke langit. Jawaban Imam Ath-Thurthusi rahimahullah di atas sejatinya merujuk kepada jawaban Al Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdurrahman terkenal dengan nama Imam Ibnu Qurai’ah rahimahullah 367 H / 977 M, saat ditanya oleh Abu Muhammad al-Hasan Bin Harun al-Muhallabi atau Al Wazir Al-Muhallabi rahimahullah 951 – 963 M di Oman, seorang menteri Baghdad yang amat dekat dengan para ulama. Dimana suatu saat Al Muhallabi menanyakan, “Saya melihatmu menengadahkan tangan ke langit dan merendahkan kening ke bumi, di mana sebenarnya Dia Allah Ta’ala ? Ibnu Qurai’ah rahimahullah menjawab, ”Sesungguhnya kami menengadahkan tangan ke tempat tempat turunnya rizki. Dan merendahkan kening kening kami ke tempat berakhirnya jasad jasad kami. Yang pertama untuk meminta rizki, yang kedua untuk menghindari keburukan tempat kematian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala yang maknanya, ”Dan di langit rizki kalian dan apa apa yang dijanjikan.” QS. Ad Dzariyat 22. Dan Allah Ta’ala berfirman yang maknanya, ”Darinya Kami ciptakan kalian, dan padanya Kami kembalikan kalian.” QS Thaha 55. Dinukil dari kitab Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah, cetakan 2 2004.Shared by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik
renungan September 24, 2021September 23, 2021 1 Minute Mungkin kita pernah melihat sebagian orang yang sedang mengerjakan shalat terkadang memandang ke atas, tidak melihat ke tempat sujud. Padahal perbuatan tersebut telah dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengatakan لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ. “Hendaklah orang-orang benar-benar menyudahi mengangkat pandangan mereka ke atas langit ketika shalat, atau pandangan mereka tidak akan kembali kepada mereka.” HR. Muslim Anas bin Malik radhiyaAllahu anhu berkata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ. فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ. “Mengapa orang-orang itu mengangkat pandangan mereka ke langit ketika shalat.” Ucapan beliau sangat keras dalam masalah ini, sampai-sampai beliau mengatakan ”Hendaknya mereka benar-benar menyudahi hal itu atau pandangan mereka benar-benar akan disambar/diambil.” HR. al-Bukhari Hadits di atas merupakan ancaman keras bagi siapa saja yang mengangkat pandangan ke atas ketika shalat. Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa perbuatan tersebut dilarang. Maka itu, siapa dari kita yang masih mengerjakannya karena belum tahu hukumnya, hendaknya ia menyudahinya, tidak mengerjakannya lagi, atau kalau tidak …… . Wa na’udzu billah min dzalik. Adapun yang disunnahkan adalah memandang ke tempat sujud. Para sahabat berkata كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَى بِبَصَرِهِ نَحْوَ اْلأَرْضِ. “Adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu apabila mengerjakan shalat beliau menundukan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke bumi bawah.” Hadis sahih riwayat al-Baihaqi dan al-Hakim Ibunda kita -kaum mukminin- Aisyah radhiyaAllahu anha bertutur لَمَّا دَخَلَ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُوْدِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا. “Ketika masuk ke Ka’bah, pandangan beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak berpindah dari tempat sujud hingga keluar darinya.” Hadis sahih riwayat al-Baihaqi dan al-Hakim Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk dapat mengerjakan shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Aamiin, ya Rabb. ✅ Bagian Indonesia 🏠 DAMMAM KSA 📅 [ 04/06/1437 H ] ============================ Dipost Ustadz Muhammad Sulhan Jauhari, Lc, MHI -hafizhahullah- tgl 15 Maret 2016 Telah Terbit September 24, 2021September 23, 2021 Navigasi pos
Berdoa tentu ada adab yang patut diperhatikan. Dream - Doa merupakan salah satu cara umat Islam berkomunikasi dengan Tuhannya. Lewat doa, seorang Muslim bisa memanjatkan segala keinginannya. Tentu ada adab yang patut diperhatikan ketika berdoa. Contohnya seperti tengadah tangan dan khusyuk. Terkadang, kita berdoa dengan mengarahkan pandangan ke langit. Kita seolah-olah melihat Allah SWT. Apakah hal ini dibolehkan secara syariat? Dikutip dari bincangsyariah, menatap langit saat berdoa dibolehkan. Rasulullah Muhammad SAW pernah melakukannya. Ini didasarkan pada hadis riwayat Thabarani, dari Maimunah RA. " Rasulullah SAW tidak keluar dari rumahku sama sekali. Kecuali ia mengarahkan pandangannya ke langit seraya berdoa, 'Allahumma inni a'udzubika an udhilla au udhalla. Au uzilla au uzala. Au ajhala au yujhala alayya. Au udzlima au udzlama.' Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat sesat atau disesatkan, dari tergelincir atau digelincirkan, dari kebodohan atau dibodohi, dari berbuat dzalim atau didzalimi." 1 dari 1 halaman Riwayat yang Menguatkan Hadis lain diriwayatkan An Nasai dari Uqbah bin Amir Al Juhani RA mengungkapkan hal serupa. Umar bin Khattab RA pernah berkata kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda, " Siapa yang berwudhu, maka hendaknya memperbaiki wudhunya. Lalu mengarahkan pandangannya ke langit dan berkata, 'Asyhadu an la ilaha illallah. Wahdahu la syarikalahu. Wa asyhadu anna muhammadan abduhu warasuluhu,' Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Satu-satuNya, tidak ada sekutu bagiNya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad hambaNya dan utusanNya. Maka dibukakan untuknya delapan pintu surga, yang ia berhak masuk dari pintu mana saja yang ia mau." Dua hadis di atas memuat ketentuan untuk mengarahkan pandangan ke langit lalu mengucap doa. Sehingga, mengarahkan pandangan ke langit ketika berdoa dibolehkan. Selengkapnya...
Skip to content Ketika shalat dimakruhkan memalingkan muka tanpa hajat. Ada pendapat yang mengatakan haram, bahkan terpilih pendapat yang haram ini berdasarkan hadis sahih, “Allah selalu menghadap kepada hamba-Nya ketika ia shalat, yakni dengan rahmat dan rida-Nya selama ia tidak berpaling. Apabila ia berpaling, maka Allah akan berpaling pula darinya.” Sabda Nabi saw atas pertanyaan Siti Aisyah tentang hal berpaling ketika shalat, “Dia adalah pencopet. Setan mencopet shalat seseorang”. Tidak makruh menoleh apabila ada hajat, demikian pula melirikkan mata. Sebagaimana waktu Nabi saw dalam perjalanan, beliau mengutus seorang prajurit berkuda di sebuah jalan di bawah bukit untuk menjaga, lalu beliau shalat, dan ketika shalat itu beliau menoleh ke arah jalan. Ali bin Syaibani menceritakan bahwa ia pernah menghadap Nabi saw, lalu beliau menoleh dengan ujung matanya kepada seorang laki-laki yang menegakkan tulang punggungnya dalam rukuk dan sujudnya, lalu sabdanya, “Tidak berarti salat orang yang tidak menegakkan tulang punggungnya.”Riwayat Ibnu Hibban. Makruh melihat ke langit menengadah dan melihat setiap perkara yang dapat membimbangkan shalat, misalnya pakaian yang bercorak, berdasarkan hadis Bukhari, “Bagaimanakah perbuatan suatu kaum yang matanya mamandang ke langit ketika shalat?” dalam hal ini Nabi saw mengeluarkan kata-kata keras, “”Mereka harus menyudahi perbuatan itu, atau matanya akan disambar.” Adapun melihat ke atas ketika berdoa, diperbolehkan, sebab langit itu adalah kiblatnya doa; seperti halnya Ka’bah, kiblatnya shalat.
menengadah ke langit ketika shalat termasuk perbuatan yang hukumnya